Ap.umsida.ac.id – Transformasi digital telah mengubah wajah birokrasi Indonesia, termasuk di ranah layanan keagamaan. Melalui Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH), Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Candi kini menghadirkan layanan pencatatan pernikahan yang lebih cepat dan efisien. Penelitian oleh Lailul Mursyidah MAP, dosen Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), mengungkap bahwa SIMKAH berhasil memangkas waktu pendaftaran dari tiga bulan menjadi hanya lima hingga sepuluh menit secara daring.
Sebelum sistem ini hadir, calon pengantin harus mengantre panjang, membawa berkas fisik, dan menunggu proses verifikasi manual yang memakan waktu.
Kini, seluruh proses dapat dilakukan secara daring mulai dari pengisian data, unggah dokumen, hingga pemilihan jadwal akad.
“Responsivitas pelayanan publik meningkat signifikan melalui SIMKAH. Masyarakat kini tidak hanya mendapat layanan yang cepat, tetapi juga fleksibel dan dapat diakses di mana saja,” ujar dosen Umsida tersebut.

Sistem yang terintegrasi dengan data Dukcapil ini memungkinkan validasi identitas dilakukan otomatis.
Namun, Lailul menekankan bahwa peningkatan kecepatan layanan belum sepenuhnya merata.
“Keterbatasan jaringan dan literasi digital masyarakat di beberapa wilayah masih menjadi tantangan. Artinya, kecepatan belum bisa dirasakan secara adil oleh semua lapisan masyarakat,” tambahnya.
Baca juga: Desentralisasi Pemerintahan Peluang dan Tantangan Menuju Daerah yang Mandiri dan Sejahtera
Transparansi: Membuka Akses Informasi Publik
Aspek transparansi menjadi dimensi penting dalam menilai efektivitas SIMKAH.
Melalui sistem ini, biaya, prosedur, dan status dokumen pernikahan kini dapat diakses langsung oleh pengguna.
Biaya pencatatan di kantor KUA tercantum sebagai gratis, sementara akad di luar kantor dikenakan tarif resmi Rp600.000 sesuai aturan Kementerian Agama.

Informasi ini dihadirkan secara terbuka untuk mencegah praktik pungutan liar yang selama ini menjadi momok dalam pelayanan publik.
Menurut Lailul, transparansi seperti ini merupakan langkah maju menuju pemerintahan yang bersih.
“Keterbukaan biaya dan prosedur memberi rasa keadilan bagi masyarakat serta memperkuat kepercayaan terhadap lembaga keagamaan,” jelasnya.
Namun, penelitian ini juga menemukan bahwa bentuk transparansi yang ada masih bersifat administratif dan belum partisipatif.
Artinya, akses informasi hanya terbuka bagi pengguna individu, tanpa adanya dashboard publik yang memungkinkan masyarakat luas memantau jumlah pendaftar, waktu pelayanan, atau evaluasi kepuasan.
“Transparansi tidak boleh berhenti pada keterbukaan data, tetapi harus mengarah pada keterlibatan publik. Masyarakat berhak mengetahui kinerja layanan yang mereka gunakan,” tegas Lailul.
Ia menilai perlunya pengembangan sistem pelaporan digital dan fitur pelacakan data agar proses koreksi dan pengawasan dapat dilakukan secara terbuka.
Lihat juga: Uji Kompetensi LSP: Langkah Nyata Umsida Siapkan Lulusan Siap Kerja
Akuntabilitas: Menjaga Integritas Layanan Digital
Selain cepat dan transparan, pelayanan publik yang baik juga harus dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks ini, SIMKAH telah menunjukkan kemajuan besar dalam hal akuntabilitas vertikal.
Setiap aktivitas administratif mulai dari pendaftaran, verifikasi, hingga penerbitan buku nikah tercatat secara digital, memudahkan audit internal oleh Kementerian Agama.
Namun, Lailul menilai akuntabilitas horizontal, yaitu tanggung jawab langsung kepada masyarakat, masih lemah.
“KUA Candi sudah memiliki sistem pencatatan yang rapi dan dapat diaudit, tetapi belum ada mekanisme interaktif bagi masyarakat untuk memberikan umpan balik atau memantau kinerja layanan,” ujarnya.
Keterbatasan sumber daya manusia juga menjadi faktor penghambat.
Dengan hanya lima petugas yang menangani lebih dari seribu pemohon setiap tahun, beban kerja menjadi tidak seimbang.
Selain itu, gangguan server atau kesalahan input data sering menunda pelayanan, sementara fitur aduan publik seperti Lapor Pak belum terintegrasi dengan sistem utama.
Lailul menegaskan pentingnya keseimbangan antara akuntabilitas vertikal dan horizontal.
“Sistem digital seharusnya tidak hanya mempermudah pengawasan internal, tetapi juga memberi ruang bagi masyarakat untuk mengontrol dan menilai kualitas layanan,” katanya.
Penelitian ini menyoroti perlunya public monitoring system atau sistem pengawasan publik berbasis digital yang memungkinkan masyarakat memantau performa layanan secara real-time.
Dengan langkah tersebut, SIMKAH tidak hanya menjadi alat administrasi, tetapi juga wujud reformasi birokrasi yang menempatkan rakyat sebagai pengawas utama.
Penelitian ini menunjukkan bahwa digitalisasi melalui SIMKAH telah membawa perubahan signifikan pada pelayanan publik berbasis agama.
Meski masih menghadapi tantangan teknis dan sosial, langkah ini menjadi contoh nyata bahwa birokrasi Indonesia tengah bergerak menuju tata kelola yang lebih terbuka, cepat, dan bertanggung jawab.
Sebagaimana disampaikan Lailul Mursyidah, “Efektivitas layanan publik tidak hanya diukur dari teknologi yang digunakan, tetapi dari seberapa besar sistem tersebut mampu menghadirkan keadilan, transparansi, dan rasa percaya bagi masyarakat.”
Sumber: The Effectiveness of the Marriage Management Information System (SIMKAH) in Improving the Quality of Marriage Administration Services at the Office of Religious Affairs (KUA) of Candi Sub-District
Penulis: Indah Nurul Ainiyah


















