apumsida.ac.id- Laboratorium Kebijakan Publik dan Manajemen Pelayanan Publik (MPP) Prodi Administrasi Publik, Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida) kembali menggelar Gelar Forum Grup Diskusi (FGD) series 3 dengan tema “Fenomena Aparatur Desa dan Tenaga Honorer Menjadi Panitia Ad Hoc Pemilu 2024 di Kabupaten Sidoarjo”.
Dalam gelaran acara lingkar akademisi pemerhati kebijakan publik ini, menghadirkan Anwari, Ketua Network For Indonesia Democratic Society (Netfid) Provinsi Jawa Timur sebagai pemateri.
Seperti diketahui, tujuan FGD tersebut adalah untuk memperoleh masukan dan tanggapan dari narasumber, atas masa proses kegiatan pemilu nantinya akan menjadi bahan penyempurnaan pemilu 2024 mendatang.
Dalam keterangannya, Anwari menerangkan terkait problematika rangkap jabatan menjadi Panitia Ad Hoc Pemilu seperti contoh Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) memeriksa KPU Kabupaten Lebak terkait 81 orang panitia Pemilihan Kecamatan Rangkap Jabatan.
Menurutnya, permasalahan tersebut juga mengundang banyak mahasiswa yang saat ini melapor bahwa ditemukan di beberapa daerah soal Aparatur Desa dan Tenaga Honorer Menjadi Panitia Ad Hoc Pemilu hingga dibawa ke persidangan.
“Menurut Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP) dalam penyelenggara pemilu dilarang rangkap jabatan, sehingga dapat fokus melayani publik dan pelaksanaan pemilu. Sedangkan menurut regulasi Peraturan Komisi Pemilihan Umum No.8 Tahun 2022 Tentang Pembentukan dan Tata Kerja Badan Ad Hoc hanya menekankan Ad Hoc wajib bekerja penuh waktu saja,” papar Anwari.
Selain itu, lanjut Anwari, rangkap jabatan memang tidak dilarang, bahkan regulasi juga tidak melarang rangkap jabatan. Namun dalam regulasi menekankan bahwa Ad Hoc bekerja penuh waktu.
Permasalahan ini ditanggapi berbeda oleh kacamata Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKKP) yang menyampaikan ketika merangkap jabatan menjadi Panitia Ad Hoc Pemilu bagaimana para aparatur desa maupun tenaga honorer dalam mengatur waktu, integritas, profesionalitasnya dan keberpihakan maka hal tersebut perlu dipertanyakan.
“Kita hari ini harus menyorot netralitas Aparatur desa dan Tenaga Honorer di Kabupaten Sidoarjo karena berdiri di dua kaki. Apalagi posisinya vital sebagai garda terdepan pelayanan publik. Pelayanan kepada masyarakat harus maksimal. Dengan rangkap jabatan pasti ada yang dinomorduakan, sedang keduanya harus langsung bersentuhan dengan masyarakat. Yang kesemuanya jelas bekerja penuh waktu,” imbuhnya.
Senada dengan Anwari, Direktur Eksekutif Laboratorium Kebijakan Publik dan Manajemen Pelayanan Publik Prodi Administrasi Publik Umsida Ilmi Usrotin Choiriyah mengatakan, Bawaslu dan KPU Sidoarjo saat ini harus menjaga marwah pemilu ini dengan 11 prinsip penyelenggara pemilu.
Rangkap jabatan Aparatur Desa serta tenaga honorer menjadi panitia Ad Hoc, kata Ilmi, dikhawatirkan menjadi problem sorotan tajam kedepan terutama soal hasil pemilu dan kelompok kepentingan. Alhasil, perlu pengawasan ekstra terhadap panitia ad hoc yang rangkap jabatan.
“Kita Prodi Administrasi Publik Umsida sangat mendukung dan mengawal pesta Demokrasi Pemilu 2024 terutama di Kabupaten Sidoarjo tentunya melalui mekanisme dan tahapan proses yang benar,” tegas Ilmi.
Dosen Prodi AP Umsida lainya, Hendra Sukmana menambahkan bahwa seruan netralitas aparatur desa dan Tenaga Honorer yang rangkap jabatan menjadi Panitia Ad Hoc Pemilu 2024 di Kabupaten Sidoarjo ini memang perlu dipertegas kembali.
“Harapannya bukan hanya sebagai himbauan semata tapi harus ada aksi nyata dilapangan. Kita semua sebagai warga negara Indonesia yang menginginkan pemilu jujur dan adil harus proaktif menjadi pengawas pemilu independen, dokumentasikan bila ada pelanggaran pemilu dan segera laporkan ke bawaslu. karena dari pemilu yang jujur dan adil lah kita berharap lahir pemimpin yang membawa pembaharuan untuk Indonesia ke arah lebih baik,” tutup hendra
Hasil dari diskusi dalam FGD series ketiga ini mengahasilkan beberapa rekomendasi. Diantaranya adalah Mahasiswa harus lebih pro aktif dan melibatkan dirinya, dan Mahasiswa mendorong bawaslu Sidoarjo menjaga integritas.
Tak hanya itu saja, KPU juga pusat perlu menerbitkan adanya regulasi terkait sanksi terhadap rangkap jabatan, Bawaslu Sidoarjo dan KPU Sidoarjo perlu menjaga Netralitas Panitia Ad Hock dalam rangkap jabatan, Ad Hoc ataupun Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) harus akuntabel dan netral agar tidak ada pemungutan suara ulang, dan Bawaslu dan KPU Sidoarjo lebih terbuka mengenai informasi mengenai lowongan petugas pemilu ataupun Ad Hoc.
penulis : Wahyu Egrea