Ap.umsida.ac.id – Transformasi digital dalam pelayanan publik kini menjadi pilar penting reformasi birokrasi di Indonesia.
Salah satu bentuk nyata dari upaya ini hadir melalui implementasi Sistem Informasi Manajemen Nikah (SIMKAH) di Kantor Urusan Agama (KUA) Kecamatan Candi, Kabupaten Sidoarjo.
Penelitian yang dilakukan oleh Lailul Mursyidah MAP, dosen Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo (Umsida), mengungkap bahwa SIMKAH berhasil meningkatkan efisiensi dan kualitas layanan administrasi pernikahan di tingkat kecamatan.
Langkah Nyata Digitalisasi Pelayanan Publik

Menurut Lailul, SIMKAH tidak hanya menjadi inovasi teknologi, tetapi juga wujud nyata dari penerapan e-government dalam sektor keagamaan.
“Melalui SIMKAH, pelayanan publik di KUA bertransformasi menjadi lebih cepat, transparan, dan dapat dipertanggungjawabkan. Ini adalah bentuk nyata digitalisasi yang menyentuh kebutuhan masyarakat secara langsung,” ujar dosen Umsida tersebut.
Sebelum adanya sistem digital, proses pendaftaran nikah bisa memakan waktu hingga tiga bulan karena menumpuknya antrean dan verifikasi manual.
Kini, calon pengantin dapat mendaftar secara daring, mengunggah dokumen, serta memilih jadwal akad hanya dalam hitungan menit.
Sistem ini juga terhubung langsung dengan Dukcapil, sehingga verifikasi identitas dapat dilakukan otomatis melalui Nomor Induk Kependudukan (NIK).
Namun, penelitian juga menemukan tantangan yang masih dihadapi, seperti keterbatasan infrastruktur jaringan di beberapa desa, rendahnya literasi digital masyarakat, serta minimnya jumlah operator yang hanya berjumlah lima orang untuk melayani seluruh wilayah Candi.
Kondisi ini membuat sistem digital belum sepenuhnya inklusif dan masih membutuhkan dukungan lintas sektor dari pemerintah daerah.
Baca juga: Desentralisasi Pemerintahan Peluang dan Tantangan Menuju Daerah yang Mandiri dan Sejahtera
Efisiensi dan Akuntabilitas: Cermin Reformasi Birokrasi
Dalam penelitiannya, Lailul Mursyidah menggunakan teori efektivitas pelayanan publik dari Denhardt & Denhardt yang menilai kinerja berdasarkan tiga aspek: responsivitas, transparansi, dan akuntabilitas.
SIMKAH terbukti meningkatkan responsivitas pelayanan, karena masyarakat dapat mengakses layanan kapan pun tanpa dibatasi waktu dan tempat.
Transparansi juga meningkat melalui keterbukaan informasi biaya dan status pendaftaran.
Biaya resmi untuk pernikahan di kantor KUA tercantum jelas sebagai gratis, sementara akad di luar kantor dikenakan tarif resmi Rp600.000.

“Keterbukaan ini menekan potensi pungli sekaligus membangun kepercayaan publik terhadap lembaga keagamaan,” jelas Lailul.
Dari sisi akuntabilitas, setiap aktivitas tercatat secara digital dan dapat diaudit. Sistem mencatat waktu pendaftaran, verifikasi, hingga pencetakan buku nikah.
Dengan demikian, proses layanan menjadi lebih terukur dan dapat dipertanggungjawabkan.
Namun, Lailul menyoroti bahwa bentuk akuntabilitas yang terbangun masih bersifat vertical berpusat pada pelaporan internal ke kementerian belum sepenuhnya horizontal atau terbuka untuk pengawasan publik.
“Kita perlu membangun sistem yang bukan hanya mudah diaudit oleh pemerintah, tetapi juga memungkinkan masyarakat ikut memantau kinerja layanan. Akuntabilitas publik harus berjalan dua arah,” ujarnya.
Lihat juga: Uji Kompetensi LSP: Langkah Nyata Umsida Siapkan Lulusan Siap Kerja
Menuju Kebijakan Digital yang Inklusif dan Partisipatif
Transformasi digital yang efektif tidak cukup berhenti pada aspek teknologi, tetapi juga harus memperhatikan kesiapan sosial dan kelembagaan.
Lailul menegaskan bahwa keberhasilan digitalisasi layanan publik di KUA bergantung pada dukungan kebijakan dan peningkatan kapasitas sumber daya manusia.
Ia menilai pemerintah daerah memiliki peran penting dalam menyediakan infrastruktur teknologi, pelatihan operator, serta program literasi digital bagi masyarakat.
“Transformasi digital harus bersifat inklusif. Jangan sampai masyarakat pedesaan tertinggal hanya karena keterbatasan akses atau pengetahuan teknologi,” tuturnya.
Selain itu, penelitian merekomendasikan pengembangan fitur interaktif seperti pelacakan pengaduan, revisi data online, serta dashboard publik untuk menampilkan jumlah pendaftar, waktu layanan, dan tingkat kepuasan masyarakat.
Fitur-fitur tersebut akan memperkuat transparansi dan partisipasi publik dalam pengawasan layanan.
Dengan demikian, SIMKAH tidak hanya menjadi sistem administrasi pernikahan digital, tetapi simbol perubahan paradigma dalam pelayanan publik berbasis nilai-nilai keagamaan dan profesionalisme birokrasi.
“Digitalisasi seperti SIMKAH adalah pondasi menuju pelayanan publik yang efisien, jujur, dan berkeadilan,” tutup Lailul Mursyidah.
Implementasi seperti ini menunjukkan bahwa inovasi digital bukan sekadar soal sistem, tetapi tentang komitmen moral aparatur dalam melayani masyarakat.
Jika terus dikembangkan, SIMKAH dapat menjadi model inspiratif bagi transformasi digital pelayanan publik di seluruh Indonesia.
Sumber jurnal: The Effectiveness of the Marriage Management Information System (SIMKAH) in Improving the Quality of Marriage Administration Services at the Office of Religious Affairs (KUA) of Candi Sub-District
Penulis: Indah Nurul Ainiyah


















