Mobil Plat Merah Pajak Mati Digunakan Jemput Anak Sekolah?, Pengamat: Bentuk Tata Kelola Aset Buruk

ap.umsida.ac.id- Dugaan penyimpangan fasilitas Negara berupa Mobil dinas (plat merah) yang digunakan untuk kepentingan pribadi kembali terjadi di wilayah Sidoarjo. Menyusul seorang warga asal Surabaya mengirimkan foto hasil jepretannya menggunakan kamera ponsel kepada redaksi petisi.co.

“Mobil dinas dengan pajak mati bulan 10 tahun 2024 ini terparkir di depan sekolah MI Muslimat NU Jalan Jenggolo 53 Sidoarjo, pada Jum’at sore 22 Agustus 2025 sekitar pukul 16.00 WIB,” ungkapnya seraya menunjukan foto sebagai bukti, Jum’at (29/8/2025).

Pria yang enggan disebutkan identitasnya ini, menyebut mobil dinas dengan nopol W 1403 NP tersebut diketahui digunakan diluar kedinasan yakni diduga untuk menjemput anak pulang sekolah. Mobil plat merah itu, dikemudikan seorang pria lalu melaju kencang ke arah selatan melewati jalan raya depan alun-alun Sidoarjo.

“Ciri Mobil dinas yang digunakan yakni Avanza Veloz hitam dengan kaca belakang atas ada stiker toyota asri jenggolo dan bagian bawahnya auto 2000. Yang saya sayangkan, kenapa mobil pajak mati, tetap nekad digunakan di jalanan. Dugaan saya, mobil itu untuk jemput anak pulang sekolah. Sekilas saya perhatikan pengemudinya seorang pria dan di dalamnya ada seorang anak berseragam, tapi kurang jelas wajahnya. Karena kacanya gelap,” tutur guru salah satu SMPN di Surabaya ini.

Merujuk Pasal 228 ayat (1) UU. 22 tahun 2009 tentang lalu lintas dan angkutan jalan, pajak mobil mati (baik dinas maupun pribadi) sangat dilarang digunakan di jalan dan akan dikenakan sanksi tilang karena dianggap tidak memenuhi syarat administrasi kendaraan. Pelanggar bisa dikenakan pidana kurungan maksimal dua bulan atau denda maksimal Rp 500.000.

“Secara aturan kendaraan bermotor yang pajaknya mati tidak boleh digunakan di jalan raya,” tegas Kasi Humas Polresta Sidoarjo, Iptu Tri Novi Handono melalui pesan singkat kepada jurnalis petisi.co.

Sementara itu pihak Inspektorat Sidoarjo yang dikonfirmasi melalui sambungan telpon mengaku belum menerima laporan atau pengaduan dari masyarakat terkait dugaan penyalahgunaan mobil dinas dengan pajak mati itu. Meski belum diketahui secara pasti, mobil nopol plat merah itu dari dinas mana, inspektorat tetap berjanji akan menindaklanjuti informasi tersebut.

“Kami belum terima pengaduan. Tapi jika ada masyarakat yang bersedia melapor ke inspektorat silahkan. Kami berterimakasih sekali. Terkait identitas mobil dinas yang diduga digunakan diluar peruntukannya, kami belum bisa menyebutkan dari instansi mana? Karena harus diklarifikasi terlebih dulu,” jawab singkat Hari Sunjaya, Plt. Inspektur Pembantu Wilayah (Irban) 4 Inspektorat Kabupaten Sidoarjo.

Pengamat sosial dan kebijakan publik, Isna Fitria Agustina, M.Si menilai penyimpangan kendaraan dinas di Indonesia menunjukkan adanya permasalahan yang cukup serius. Penyimpangan ini tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga menurunkan citra dan kepercayaan masyarakat terhadap instansi pemerintah.

“Penggunaan untuk Kepentingan Pribadi adalah bentuk penyimpangan yang paling sering ditemukan. Kendaraan dinas yang seharusnya hanya digunakan untuk kegiatan dinas, justru digunakan untuk keperluan pribadi seperti berlibur, berbelanja, mengantar anak sekolah, atau bahkan parkir di tempat hiburan,” tandas Dosen Administrasi Publik Umsida ini.

Isna mengingatkan kepada semua pihak terutama penyelenggara pemerintahan untuk mengedukasi seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD) agar bersikap jujur dalam menggunakan fasilitas negara. Sebab penyalahgunaan aset negara masuk ranah tindakan korupsi.

“Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) kerap kali menemukan kasus penyalahgunaan aset negara, termasuk kendaraan dinas, dalam penanganan kasus korupsi. Seperti jelang Idul Fitri 2025 lalu, KPK mengimbau agar Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak menggunakan kendaraan dinas untuk mudik. Hal ini dilakukan untuk mencegah potensi kerugian negara akibat penyalahgunaan aset. KPK menegaskan penggunaan kendaraan dinas di luar kegiatan kedinasan berpotensi masuk dalam ranah tindakan korupsi,” tegasnya.

Disinggung mobil dinas pajak mati tetap digunakan di jalanan. User paham hukum tapi dilanggar. Menurut Isna, hal ini terjadi akibat lemahnya pengawasan, tata kelola aset yang buruk, minimnya sanksi, serta kesadaran hukum dan integritas yang rendah dikalangan pejabat juga pegawai menjadi faktor utama maraknya penyimpangan ini.

“Penegakan akuntabilitas ASN tidak hanya bergantung pada regulasi, tetapi juga pada ekosistem pengawasan yang kuat. Sinergi antara regulasi disiplin ASN, penegakan hukum pidana, dan mekanisme pengawasan publik yang efektif merupakan prasyarat untuk mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik. Penting bagi negara saat ini untuk menciptakan lingkungan yang aman dan melindungi setiap warga negara yang berani melaporkan pelanggaran, karena partisipasi aktif mereka adalah aset yang tidak ternilai dalam upaya pemberantasan penyimpangan dan korupsi,” ulasnya.

Kepala Lembaga Kerjasama dan Urusan Internasional Umsida ini sangat memahami sikap warga yang cenderung lebih memilih mengadu temuannya ke media dibandingkan ke aparat penegak hukum. Kenyataan itu, memperkuat narasi bahwa media dapat menjadi mekanisme akuntabilitas yang lebih andal daripada lembaga formal yang dianggap “kehilangan taji”.

“Ketidakpercayaan pada institusi hukum atau keyakinan bahwa perhatian publik lebih efektif sudah menjadi cerminan erosi kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum formal. Penemuan bahwa salah satu alasan utama mengapa warga melaporkan penyimpangan ke media adalah adanya ketidakpercayaan terhadap lembaga penegak hukum,” tegasnya.

Selain krisis kepercayaan, lanjutnya, keputusan masyarakat untuk beralih ke media juga dipicu oleh kendala nyata dalam menggunakan mekanisme pelaporan formal. Sistem pengaduan formal seringkali tidak menawarkan jaminan keamanan dan efektivitas yang dibutuhkan oleh pelapor.

“Kegagalan sistem pengaduan formal untuk berfungsi secara efektif dan aman menciptakan realitas di mana publik dihadapkan pada pilihan yang sulit: mengikuti jalur legal yang lamban, berbelit, dan berisiko gagal, atau mengambil jalur media yang cepat, efektif dalam menciptakan tekanan, namun membawa risiko hukum dan reputasi pribadi yang signifikan. Secara pragmatis, banyak yang memilih jalur kedua karena dianggap memiliki “daya tekan” yang lebih tinggi dan dampak yang lebih terasa,” ujarnya.

Menurutnya, pemerintah daerah harus segera mengambil sikap terkait hal ini. Mulai dari peningkatkan pengawasan dan penanganan kasus dari tindak lanjut setiap laporan masyarakat secara responsif serta transparan.

“Tidak ada pilihan lain, jika tujuannya untuk memperbaiki citra dan mengembalikan kepercayaan publik yang menurun akibat pelanggaran oknum. Sesuai Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 94 Tahun 2021 tentang Disiplin Pegawai Negeri Sipil sebagai dasar hukum utama. PP ini menjadi landasan jenis sanksi disiplin yang berlaku, mulai dari sanksi ringan seperti teguran, sanksi sedang berupa potongan tunjangan kinerja, hingga sanksi berat seperti penurunan jabatan atau pemberhentian serta ancaman pidana oleh Kejaksaan,” pungkasnya.