Ap.umsida.ac.id – Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) masih menjadi momok serius di Sidoarjo. Data UPTD Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA) mencatat puluhan kasus setiap tahunnya, mayoritas menimpa perempuan.
KDRT tidak hanya menimbulkan luka fisik, tetapi juga meninggalkan trauma psikologis dan masalah sosial yang berkepanjangan.
Dalam situasi genting seperti ini, UPTD PPA hadir bukan sekadar sebagai lembaga penerima laporan, melainkan sebagai fasilitator yang memastikan korban benar-benar mendapat perlindungan.
Rumah Aman dan Layanan 24 Jam

UPTD PPA Sidoarjo menyediakan rumah aman (shelter) bagi korban KDRT, layanan pengaduan 24 jam, serta pendampingan psikologis dan hukum.
Fasilitas ini didesain agar korban memiliki ruang aman untuk memulihkan diri dari tekanan yang dialami.
Bahkan, shelter yang disediakan bersifat rahasia demi menjaga keamanan korban dari ancaman pelaku.
Seperti disampaikan oleh Kepala UPTD PPA Sidoarjo, “Kami selalu mengutamakan korban. Setiap laporan yang masuk kami respon, bahkan kami ada setiap saat ketika korban membutuhkan pertolongan,” (wawancara, 4 Maret 2025).
Pernyataan ini menegaskan bahwa UPTD PPA tidak hanya hadir secara administratif, tetapi juga secara emosional, memberikan rasa aman dan kepedulian bagi para penyintas.
Selain itu, UPTD PPA aktif menjalin koordinasi dengan kepolisian, dinas sosial, hingga lembaga swadaya masyarakat.
Kolaborasi ini penting untuk memastikan korban tidak hanya terlindungi, tetapi juga memperoleh keadilan hukum serta dukungan pemulihan yang menyeluruh.
Baca juga: Jadi Maba, Mending Bagusin IPK atau Aktif Berorganisasi? Ini Jawabannya
Tantangan SDM Membatasi Peran UPTD PPA

Meski memiliki fasilitas yang cukup memadai, UPTD PPA Sidoarjo masih menghadapi tantangan besar, keterbatasan sumber daya manusia (SDM).
Idealnya, lembaga ini membutuhkan lebih banyak konselor, psikolog klinis, dan pendamping hukum.
Namun kenyataannya, jumlah tenaga profesional masih jauh dari ideal. Beberapa staf bahkan harus merangkap peran.
Misalnya, seorang pendamping hukum juga merangkap sebagai konselor.
Kondisi ini tentu memengaruhi kualitas layanan yang diberikan, sebab penanganan kasus KDRT sejatinya membutuhkan pendampingan yang fokus dan profesional.
Menurut penelitian yang dilakukan oleh Hendra Sukmana, dosen Administrasi Publik Umsida, kondisi ini berpotensi menurunkan efektivitas layanan.
“Keterbatasan SDM menyebabkan efektivitas layanan terganggu. Ada konselor yang merangkap tugas, padahal pendampingan psikologis dan hukum seharusnya ditangani secara profesional dan fokus,” ungkapnya dalam hasil riset.
Tantangan ini juga berimbas pada lama waktu penanganan kasus. Alih-alih segera selesai, beberapa kasus menjadi berlarut karena petugas harus membagi perhatian pada berbagai tugas.
Situasi ini semakin menegaskan bahwa isu KDRT bukan hanya soal keberanian korban melapor, tetapi juga kesiapan institusi untuk hadir dengan dukungan yang memadai.
Lihat juga: Etika Administrasi Publik: Pilar Kepercayaan di Era Digital
Menanti Penguatan Kapasitas dan Kesadaran Publik
Keberadaan UPTD PPA sebagai fasilitator memberi harapan besar bagi korban KDRT di Kabupaten Sidoarjo.
Namun, efektivitasnya akan semakin optimal bila disertai dengan penguatan kapasitas SDM.
Penambahan tenaga ahli seperti psikolog, konselor, mediator, dan pengacara bersertifikat menjadi kebutuhan mendesak agar setiap korban mendapat penanganan sesuai standar.
Di sisi lain, peningkatan kesadaran publik juga menjadi faktor penting. Banyak kasus KDRT tidak terlaporkan karena korban merasa takut, malu, atau tidak percaya akan adanya perlindungan.
Padahal, laporan masyarakat adalah pintu masuk utama agar UPTD PPA bisa bertindak.
Oleh karena itu, edukasi masyarakat tentang pentingnya melaporkan KDRT harus terus digencarkan.
Hendra Sukmana menegaskan, “UPTD PPA sudah berada di jalur yang tepat sebagai fasilitator. Namun, tanpa dukungan peningkatan kapasitas SDM dan kesadaran masyarakat, kualitas pemulihan korban masih jauh dari kata ideal,” (hasil penelitian 2025).
Pernyataan tersebut menjadi refleksi bahwa UPTD PPA tidak bisa bekerja sendirian.
Sinergi antara pemerintah daerah, aparat hukum, organisasi masyarakat, hingga dukungan publik sangat menentukan keberhasilan dalam menangani kasus KDRT.
UPTD PPA Sidoarjo telah membuktikan diri sebagai garda terdepan dalam memfasilitasi korban KDRT.
Rumah aman, layanan pengaduan 24 jam, hingga pendampingan hukum dan psikologis adalah bukti nyata peran mereka.
Meski begitu, tantangan berupa keterbatasan SDM masih menjadi pekerjaan rumah besar.
Di masa depan, peningkatan jumlah tenaga profesional dan kesadaran masyarakat akan menjadi kunci keberhasilan.
Dengan dukungan semua pihak, UPTD PPA Sidoarjo bisa menjadi contoh lembaga yang benar-benar hadir, bukan hanya di atas kertas, tetapi dalam kehidupan nyata para korban yang membutuhkan perlindungan.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah