Ap.umsida.ac.id – Sistem layanan publik digital seperti SIPRAJA kini menuai sorotan karena ketiadaan SOP yang jelas dianggap menjadi akar persoalan dalam penerbitan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU).
Digitalisasi layanan publik melalui aplikasi SIPRAJA digadang sebagai langkah besar menuju pelayanan yang lebih cepat, transparan, dan efektif.
Namun, penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Riyadh UB, dosen Program Studi Administrasi Publik Universitas Muhammadiyah Sidoarjo.
Ia menemukan persoalan mendasar yang menghambat efektivitas sistem ini ketiadaan Standar Operasional Prosedur (SOP) yang jelas dalam layanan SKDU.
Baca juga: Bedah Peran Hukum sebagai Perubahan Menuju Negara yang Adil: Prodi Hukum Umsida Datangkan Ahli
Benang Kusut Administrasi Tanpa SOP yang Jelas
Ketiadaan SOP ini membuat pelaksanaan administrasi kehilangan arah.

Pada banyak kasus, warga mengajukan Surat Keterangan Domisili Usaha (SKDU) berdasarkan alamat KTP, padahal regulasi mengharuskan domisili sesuai lokasi fisik usaha.
Ketika petugas menemukan bahwa tempat usaha berada di luar wilayah desa, mereka kebingungan menentukan langkah yang benar.
“Ketika tidak ada SOP yang jelas, petugas berada dalam posisi serba salah antara ingin membantu warga, tetapi juga khawatir melanggar aturan,” ungkap dosen Umsida tersebut dalam penelitiannya .
Dalam kondisi ini, beberapa warga hanya menerima “surat biasa” sebagai alternatif, meski dokumen tersebut tidak memiliki kekuatan hukum setara SKDU.
Situasi ini tidak hanya membuat warga bingung, tetapi juga menunjukkan ketidakpastian hukum yang merugikan pelaku usaha yang membutuhkan legalitas untuk izin usaha, perpajakan, maupun akses layanan perbankan.
Lihat juga: Penguatan Kelembagaan Pemerintah Daerah: Kunci Pembangunan Ekonomi yang Inklusif dan Berkelanjutan
Ketidakpastian Administratif dan Dampaknya pada Kepercayaan Publik
Ketika SOP tidak tersedia, seluruh layanan menjadi sangat bergantung pada interpretasi masing-masing petugas.
Penelitian ini menegaskan bahwa hal tersebut menciptakan inkonsistensi pelayanan, bahkan dalam kasus serupa sekalipun.
Akibatnya, kualitas layanan digital yang seharusnya seragam justru menjadi berbeda-beda antar desa.
Bahkan ketika teknologi sudah disediakan, birokrasi yang tidak terstandar membuat inovasi digital kehilangan daya guna.
Petugas kerap menunda keputusan atau mengambil langkah kompromi karena merasa tidak memiliki dasar hukum yang kuat.
Menurut Ahmad Riyadh, “Digitalisasi tanpa kepastian prosedur justru melahirkan kebingungan baru,” ujarnya.
“Teknologi bukan solusi jika birokrasi tidak memiliki panduan yang jelas,” tambahnya.
Ketidakpastian ini berdampak langsung pada kepercayaan publik. Warga menjadi ragu terhadap layanan digital karena hasil yang mereka terima tidak selalu sesuai dengan ekspektasi.
SKDU sebagai dokumen penting yang menjadi dasar berbagai perizinan seharusnya memiliki alur yang pasti, bukan diputuskan berdasarkan kebiasaan masing-masing petugas.
Penelitian ini mengingatkan bahwa digitalisasi bukan sekadar menghadirkan aplikasi, tetapi juga menuntut pembenahan tata kelola.
Tanpa SOP yang kuat, layanan publik digital hanya akan berubah menjadi sistem yang canggih secara tampilan namun rapuh dalam pelaksanaan.
Pemerintah daerah perlu segera menyusun SOP detail agar setiap petugas memiliki pegangan yang sama, dan masyarakat mendapatkan kepastian hukum yang memang menjadi hak mereka.
Penulis: Indah Nurul Ainiyah


















